![]() |
Bandara Ngurah Rai - Khusus penambahan fasilitas dalam rangka pertemuan IMF-Bank Dunia itu dibutuhkan lahan setidaknya 5,8 Haktera (Ha). |
Bali akan menjadi tuan rumah pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional (IMF) - Bank Dunia (World Bank) pada Oktober 2018.
Guna mendukung pertemuan yang akan dihadiri setidaknya 17.000 peserta dari 189 negara itu (termasuk 189 menteri keuangan, 189 kepala bank sentral, dan 23 kepala Negara), Bandara I Gusti Ngurah Rai, Badung, akan melakukan penambahan sejumlah fasilitasnya.
Khusus penambahan fasilitas dalam rangka pertemuan IMF-Bank Dunia itu dibutuhkan lahan setidaknya 5,8 Haktera (Ha).
Namun, secara keseluruhan, pengembangan Bandara I Gusti Ngurah Rai bakal membutuhkan lahan baru seluas 48 Ha.
Karena lahan Bandara I Gusti Ngurah Rai yang ada saat ini sudah mentok, maka perluasan area bandara untuk penambahan fasilitas itu terpaksa ‘mencaplok` perairan, dengan dua pilihan cara untuk melakukannya: reklamasi pantai atau teknologi tiang pancang.
Terkait perluasan area bandara hingga ke perairan itu, Bendesa Desa Adat Tuban, I Wayan Mendra, mengungkapkan tanggapannya.
Tuban sebagai salah-satu desa adat penyangga Bandara Ngurah Rai, kata Mendra, memang pernah menyatakan dukungan terhadap master plan (rencana induk) pengembangan bandara pada 2010 silam.
Namun demikian, pembahasan waktu itu tidak membicarakan hal teknis seperti reklamasi.
"Kami dari Desa Adat Tuban sebetulnya menyetujui rencana perluasan apron (area parkir pesawat) dan runway (landasan pacu) Bandara I Gusti Ngurah Rai asalkan sesuai kebutuhan," kata Mendra, Rabu (28/3), di Tuban, Kabupaten Badung.
Terkait hal itu, Mendra menyebutkan tiga catatan sebagai keputusan prajuru dan masyarakat adat Tuban.
Pertama, rencana pengembangan kapasitas bandara disetujui asalkan tidak mencaplok sejengkal pun tanah adat seperti setra dan rumah-rumah warga adat Tuban.
Kedua, perluasan tidak dengan mereklamasi laut.
Ketiga, Pantai Segara Kauh yang merupakan tempat melasti bagi masyarakat Tuban tidak ikut ditata dalam pengembangan bandara tersebut.
Mendra menekankan, catatan kedua yang tidak menyetujui reklamasi merupakan aspirasi masyarakat adat Tuban.
Terlebih lagi, Tuban merupakan salah-satu desa adat yang menyatakan sikap menolak reklamasi Teluk Benoa.
Berdasarkan kuesioner yang disebar prajuru Desa Adat Tuban pada Februari 2016 silam, sebanyak 493 dari 600 responden telah menyatakan menolak reklamasi.
Kendati kuesioner tersebut dalam konteks reklamasi Teluk Benoa, Mendra memilih untuk tetap konsisten.
"Kalau tiyang tiba-tiba setuju (reklamasi), berarti tiyang tidak konsisten dong," imbuh Mendra.
Secara pribadi, kata Mendra, dirinya cenderung memilih pelebaran apron barat menggunakan tiang pancang.
Namun demikian, ia mengakui dirinya tidak bisa berbuat banyak jika nanti pemerintah melalui Bupati Badung maupun Gubernur Bali menyetujui pelebaran apron dengan cara reklamasi.
Hal paling mendesak yang perlu dilakukan, menurutnya, adalah adanya sosialisasi dari pihak pemrakarsa (PT. Angkasa Pura I) kepada masyarakat dari ketiga desa adat penyangga (Tuban, Kuta, Kelan).
"Tetapi, kalau pemerintah mengizinkan reklamasi, apalah artinya kami yang hanya masyarakat kecil. Yang terpenting, masyarakat perlu diberikan sosialisasi agar bisa berdialog, memberi masukan, dan mengetahui dampak kebisingan atau kemungkinan terjadinya kecelakaan pesawat," tandas Mendra.
sumber : tribun