Jumat, 26 Oktober 2012 | 07:09
![]() |
ist |
negara.
"Sejak 2009 waktu penerimaan taruna xxxxxx. Dari Nunukan ada 25 siswi
putri. Bagaimana di Nunukan itu? Ada penerimaan xxxxxx, ada 25 tidak
ada satupun lulus. Masalahnya itu," ujarnya pada pertemuan itu.
Sigar pada pertemuan tersebut menyarankan agar pihak sekolah
memanggil orang tua untuk penanganan siswi yang diketahui terjun ke
dunia pelacuran.
Ia mengatakan, persoalan anak seperti ini menjadi tanggungjawab semua pihak.
"Orang tua juga kurang peduli. Saya lihat ada anak yang merokok, tapi
orang tuanya diberitahu tidak ditindaklanjuti juga," ujarnya.
Pengawas Sekolah Johansyah yakin, angka pelajar yang terlibat
pelacuran di Nunukan bisa lebih dari 20 persen. Sebelumnya, sebut saja
Ica, salah seorang pelajar di Nunukan kepada media menuturkan jika ada
sekitar 20 persen pelajar yang terjun kedunia sex komersial.
"Saya buka kompas.com saya pikir di Jakarta, ternyata ini di Nunukan.
Ini berita sudah menasioanl. Dan secara tidak langsung ini promosi juga
keluar. Karena ini kan daerah transit," ujarnya.
Ia mengatakan, anak-anak PSK tersebut memiliki blackberry, dan handphone yang nomornya telah tersebar ke mana-mana.
"Ini juga tergantung dari pembelinya. Kalau tidak ada yang membeli,
tidak laku. Karena ini bukan cerita basi dan cerita bohong," ujarnya.
Misadi dari Divisi Pendidikan dan Penelitian P2TP2A Badan
Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Daerah Nunukan mengatakan,
dari hasil observasi yang dilakukan memang persoalan sex bebas
dikalangan pelajar sudah sangat mengkhawatirkan.
"Setiap sosialisasi kita sampaikan ini fenomena gunung es. Kita tidak
bisa bergerak sendiri tanpa dukungan sektor lain. Kita berharap
dukungan dari multisektor dalam penanggulangan KDRT," ujarnya.
Ia mengungkapkan, seringkali anak-anak sekolah saat jam istirahat justru mencari makan jauh dari lingkungan sekolahnya.
"Ini yang dimanfaatkan tukang bengkel, tukang ojek, buruh, ini riil
di lapangan. Pengawasan dan proteksi di rumah ini lemah juga," ujarnya.
Pelacuran anak ini juga terjadi karena kebutuhan anak tidak
terpenuhi. Kebutuhan dimaksud bukan hanya menyangkut materi namun juga
terkait kasih sayang yang tidak terpenuhi.
Selain itu mengglobalnya teknologi informasi seperti internet,
blackberry, jika dimanfaatkan anak tanpa proteksi orang tua, justru bisa
menjadi sumber informasi yang diakses anak untuk hal-hal negatif.
"Kemudian anak ingin BB, lifestyle. Dalam penelitian kami, ada
pakaian, kemudian makanan anak-anak. Sekarang jarang makan di rumah,
lebih senang makan di kafe. Ini perlu kita cermati," ujarnya.
Selain itu sistem pendidikan turut menjadi penyebab perilaku
menyimpang dikalangan pelajar tersebut tumbuh subur. Diakui, banyak
pakar pendidikan menilai selama ini pendidikan lebih mengutamakan
kognitif dan motorik.
"Hanya supaya otaknya pintar. Tetapi tidak menyinggung moral, emosional. Ini menjadi evaluasi kita," ujarnya.
sumber : tribun