Jumat, 11 Mei 2012 | 08:19
Sukhoi dan Tekad Kebangkitan Rusia
penumpang komersial.
Itulah yang terjadi di Rusia pada era 1990-an. Di tengah keruntuhan infrastruktur industri dirgantara di Rusia setelah pembubaran Uni Soviet, beberapa pemain utama industri tersebut berusaha bertahan.
Pabrikan-pabrikan pesawat Rusia, seperti Tupolev dan Ilyushin, mencoba mengembangkan pesawat baru yang mengadaptasi berbagai desain dan teknologi Barat. Pesawat Tupolev Tu-204, misalnya, dirancang untuk menandingi Boeing 757. Adapun Ilyushin Il-96 berambisi menjadi pesaing Boeing 777 dan Airbus 330.
Namun, pesawat-pesawat itu tidak pernah laku di luar para pelanggan tradisional Rusia sejak era Uni Soviet, seperti Kuba, Korea Utara, Iran, dan beberapa negara Afrika. Menurut artikel Andrew E Kramer di The New York Times, hanya sekitar selusin Il-96 yang terjual, salah satunya menjadi pesawat kepresidenan Fidel Castro dari Kuba.
Produsen pesawat di Rusia akhirnya mengakui, terlalu berat bersaing dengan Airbus dan Boeing. Namun, Rusia tak mau menyerah begitu saja. Para pelaku industri memutuskan banting setir, mengincar pasar dengan pesaing lebih kecil, seperti Bombardier dari Kanada dan Embraer dari Brasil. Mereka juga membuat kerja sama produksi dengan perusahaan-perusahaan Barat untuk mengisi celah ketinggalan teknologi dan membantu menembus pasar global.
Di sinilah Sukhoi Superjet 100 (SSJ100) lahir. Diproduksi oleh pabrikan Sukhoi, yang terkenal sebagai pembuat jet tempur legendaris, SSJ100 diharapkan akan menjadi awal kebangkitan industri dirgantara Rusia. Dengan kapasitas 75-95 tempat duduk dan jarak jelajah 3.000-4.500 kilometer, pesawat ini berada di kelas yang sama dengan Embraer E-170 dan Bombardier CRJ-700.
Sukhoi pun menggandeng beberapa perusahaan dirgantara Barat, seperti Alenia Aeronautica dari Italia, Thales dan Snecma dari Perancis, dan Liebherr dari Swiss untuk mengembangkan pesawat penumpang yang lebih cocok dengan ”selera” Barat. Boeing dari Amerika Serikat pun digandeng sebagai konsultan.
Dengan sistem kontrol elektronik fly-by-wire dan mesin turbofan baru, Kramer mencatat, SSJ100 sudah tak terasa seperti pesawat-pesawat penumpang era Uni Soviet. SSJ100 pun menawarkan kelebihan dengan memasang harga lebih rendah daripada pesaingnya, yakni sekitar 31,7-35 juta dollar AS per unit.
Namun, dengan segala kelebihan itu, SSJ100 tak serta-merta laku keras. Berbagai masalah teknis muncul, mulai dari rusaknya detektor, kebocoran pemasok udara kabin, hingga masalah roda pendarat.
Citra pesawat buatan Rusia yang sering jatuh beberapa tahun belakangan ini juga menjadi kendala pemasaran SSJ100. Itu sebabnya, Sukhoi berusaha semaksimal mungkin mempromosikan pesawat itu ke negara-negara calon pembeli potensial. Dalam rangka tur promosi itulah, SSJ100 mampir di Indonesia pekan ini.
Kali Ini Bukan "Joy(ful) Flight"
”Hasrat (manusia) untuk terbang adalah gagasan yang diwariskan kepada kita oleh nenek moyang, yang... menatap dengan iri burung terbang dengan leluasa di udara... pada jalan raya udara yang tanpa batas.” (Wilbur Wright, perintis penerbangan, dalam Flight: The Complete History, RG Grant, DK, 2007)
Menyadari dirinya sebagai pendatang belakangan, juga dengan pikiran bahwa produknya ditujukan untuk pasar dunia, pabrik Sukhoi cerdik menggandeng konsultan yang tidak lain adalah Boeing dan pemasok (vendor) internasional untuk melengkapi pesawat Superjet 100 rancangannya. Misalnya, avionik (elektronik penerbangan) dibuat oleh Thales, sistem kendali oleh Liebherr, roda pendarat oleh Messier Dowty, roda dan rem oleh Goodrich, serta sistem listrik oleh Hamilton Sundstrand. Semuanya adalah pemasok ternama di dunia penerbangan.
Peranan Boeing juga tidak kecil. Seperti ditulis dalam situs Sukhoi, menurut kesepakatan 19 Desember 2002, Boeing memberikan konsultasi kepada Sukhoi dalam bidang pemasaran, desain dan manufaktur, sertifikasi dan sistem kualitas, manajemen pemasok, serta dukungan purnajual.
Saat awal itu belum ada nama Superjet 100 karena yang dimunculkan sebagai proyek adalah Russian Regional Jet (RRJ). Nama Superjet 100 baru muncul setelah RRJ dinamai ulang, Juli 2006.
Sebagai jet komersial terbaru Rusia, Superjet 100 yang mendapat bantuan perancangan oleh pabrik ternama menjadi jet yang kabinnya nyaman bagi penumpang.
Mantan Presiden BJ Habibie yang juga ahli konstruksi pesawat terbang saat mengomentari sosok Superjet 100, Kamis (10/5/2012) petang, di kediamannya, menyebut, ”Bagus, ya, desainnya. Sayang (di sini) ia peh (tidak beruntung).”
Pesawat berkapasitas penumpang 75-100 ini oleh pembuatnya diklaim sebagai pesawat modern, secara ekonomi efisien, dan cocok dipasarkan di pasar global. Untuk itulah ia diterbangkan ke wilayah Asia yang ketika dunia banyak dilanda kemunduran, Asia justru menjadi mesin pertumbuhan. Sebelum tiba di Jakarta, pesawat singgah di Myanmar, Pakistan, dan Kazakhstan. Jet ini, seperti diberitakan kantor berita Rusia, RIA Novosti (CNN NewSources, 10/5), selanjutnya juga dijadwalkan akan terbang ke Laos dan Vietnam.
Promosi Sukhoi tidak keliru karena meski kondisi ekonomi dunia kurang menguntungkan akibat pelbagai krisis, juga ketidakpastian harga minyak, tetapi Asia menawarkan optimisme.
Malang tak dapat ditolak
Ditambah dengan penerbang senior Alexander Yablonstev dan kopilot Alexander Kochetkov, Superjet 100 yang sudah terbang mulus pada Rabu pagi sebenarnya punya banyak potensi untuk meraih sukses di kawasan ini.
Namun, dalam kenyataan memang tak semua rencana berjalan mulus. Problem muncul tatkala pilot meminta izin turun dari ketinggian 10.000 kaki (3.048 meter) ke 6.000 kaki (1.829 meter). Seperti telah terjadi beberapa kali sebelumnya, kawasan di selatan Jakarta ditandai oleh Gunung Salak yang menjulang setinggi tidak kurang dari 2.200 meter.
Bahwa kemudian pesawat bisa turun ke ketinggian tersebut masih menyisakan pertanyaan karena jelas itu ketinggian yang lebih rendah dibandingkan dengan ketinggian gunung. Pertanyaan berikut yang muncul ialah kalau memang Superjet merupakan pesawat canggih, mengapa ia seperti tidak punya ground proximity warning system (GPWS) atau terrain awareness warning system (TAWS). Inilah sistem yang akan mengingatkan awak pesawat akan halangan yang ada di hadapan.
Kedua hal tersebut juga merupakan tanda tanya bagi pengamat penerbangan Dudi Sudibyo, seperti diungkapkan dalam percakapan dengan penulis, Kamis siang.
Superjet 100, kini hancur berkeping, terserak di tebing yang berkemiringan lebih dari 80 derajat atau nyaris vertikal.
Tidak untuk menyalahkan
Kini tugas tim SAR untuk menemukan dan mengevakuasi para korban musibah Superjet 100 serta tugas KNKT untuk menyelidiki sebab-musabab terjadinya musibah.
Menurut tradisi yang ada, penyelidikan kecelakaan pesawat terbang akan memerlukan waktu lama, bisa berbulan-bulan. Hasilnya pun lazimnya bukan sesuatu yang—menurut anggapan masyarakat awam—memuaskan. Seperti sering diungkapkan oleh mendiang Cartono Soejatman, mantan pilot Garuda yang kemudian menjadi kolumnis dan dosen penerbangan, kesimpulan yang bisa dikemukakan adalah the most probable cause(s) atau ’penyebab yang paling mungkin’. Pada kenyataannya, kecelakaan penerbangan sering tidak dipicu oleh satu sebab, tetapi oleh rentetan sebab yang bertali-temali. Semangat yang dikandung dalam penyelidikan juga tidak untuk menemukan ”siapa yang bersalah”, tetapi untuk mencegah terulangnya musibah serupa.
Namun, karena musibah kali ini melibatkan pesawat asing, pihak Rusia pun dikabarkan akan membentuk tim sendiri untuk menyelidiki tragedi penerbangan RA 6801 ini. Hal ini masuk akal karena Rusia ingin memastikan apakah ada problem pada pesawat komersial yang sedang ia unggulkan untuk menembus pasar dunia ini.
sumber : kompas