Senin, 10 Oktober 2011 | 04:39 WIB
PALU - Fasilitator peneliti Pusat Penelitian Perdamaian dan Pengelolaan Konflik (P4K) Universitas
Tadulako, Tahmidy Lasahido, mengatakan bahwa konflik yang tidak berkesudahan di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, menunjukkan bahwa proses perdamaian yang ditempuh selama ini belum menyentuh akar masalah.

"Upaya-upaya perdamaian selama ini masih konvensional. Setiap bentrokan di wilayah itu tidak cukup hanya
diselesaikan dengan tanda tangan para tokoh, tetapi perlu proses sampai menyentuh akar masalahnya," kata Tahmidy Lasahido di Palu, Minggu (9/10/2011) malam, menanggapi meletusnya kembali bentrokan di perbatasan Kecamatan Gumbasa dan Dolo Selatan, Kabupaten Sigi, pada Minggu dini hari.
diselesaikan dengan tanda tangan para tokoh, tetapi perlu proses sampai menyentuh akar masalahnya," kata Tahmidy Lasahido di Palu, Minggu (9/10/2011) malam, menanggapi meletusnya kembali bentrokan di perbatasan Kecamatan Gumbasa dan Dolo Selatan, Kabupaten Sigi, pada Minggu dini hari.
Bentrokan tersebut menewaskan seorang warga, sementara tiga orang luka-luka, yakni Ismudin (53), warga Dusun Kinta luka di bagian dada kiri; Basri alias Upik (35) luka di tangan kanan; dan Ebit (35), warga Desa Bangga, luka di kaki kiri.
Menurut Tahmidy, sejumlah rentetan peristiwa bentrokan yang terjadi di wilayah Sigi menunjukkan motif yang hampir sama. Hanya karena ulah satu-dua orang, hal itu lalu melibatkan masyarakat ramai-ramai berkelahi. "Ini yang perlu dicari akar masalahnya, kenapa masyarakat kita di sana begitu gampang dipicu dengan suasana kekerasan," katanya.
Menurut dia, pendekatan pengamanan yang dilakukan kepolisian hanya pada tahap penghentian kekerasan sementara, belum pada tahap mencari akar masalahnya. Hal inilah, kata dia, yang perlu dieksplor dengan melibatkan pihak-pihak lain.
Pemerintah, kata Tahmidy, tidak mampu jika hanya mengurus hal itu sendiri karena pemerintah memiliki banyak hal lain yang harus dikerjakan. Dia mengatakan, mestinya pemerintah daerah meminta bantuan kepada berbagai pihak untuk menggali akar masalah di wilayah tersebut.
Ia mengakui bahwa butuh waktu untuk menanamkan kesadaran kolektif di tengah masyarakat. Hanya, jika akar masalah tidak segera dicari, maka konflik di Sigi akan terus berlanjut.
Menurut Tahmidy, nilai-nilai lokal di masyarakat setempat mulai pudar karena orang-orang tua yang dilibatkan dalam setiap perdamaian di wilayah itu tidak lagi didengar.
"Nilai-nilai lokal itu kelihatannya sudah runtuh. Penghargaan terhadap orang-orang tua tidak ada lagi. Malah orang yang melarang diajak berkelahi," katanya.
Itulah sebabnya, kata Tahmidy, diperlukan langkah-langkah revitalisasi nilai-nilai lokal. Tahmidy tidak ingin berspekulasi atas kemungkinan penyebab konflik yang terjadi di wilayah Sigi selama ini. Namun dia menduga, ada masalah serius di wilayah itu, salah satunya masalah akses ekonomi.
Sebelumnya Kepala P4K Universitas Tadulako Moh Marzuki mengatakan, konflik yang kerap terjadi selama ini di Kabupaten Sigi dipicu oleh faktor pengangguran. "Namun, hal ini baru pengamatan karena kami belum melakukan penelitian," katanya.
Menurut Marzuki, faktor tingginya angka pengangguran menjadi akibat terbatasnya ruang masyarakat untuk berekspresi atau bekerja sehingga tidak ada pilihan lain bagi masyarakat untuk mengembangkan potensi mereka. "Kalau ada pilihan lain, maka untuk apa mereka berkonflik," katanya.
Dia mengatakan, konflik di Dolo sudah berulang kali terjadi dan harus dicari akar masalahnya. Semua pihak, kata dia, harus duduk bersama, dan ada yang bersedia menjadi mediator. Menurut Marzuki, konflik di Dolo merupakan konflik laten karena selalu muncul.
sumber : kompas